Senin, 16 November 2009

POPULASI ANOA DI SM TANJUNG AMOLENGO, SULAWESI TENGGARA TIDAK LEBIH 10 EKOR

Dr.Ir Abdul Haris Mustari, M.Sc.F
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Kampus IPB Dramaga, Bogor (haris.anoa@yahoo.com)

Anoa, Satwa endemik Sulawesi populasinya makin terancam. Satwa ini tercatat dalam Apendix I CITES dan termasuk “Endangered Species” IUCN Red Data Book. SM Tanjung Amolengo terletak di ujung selatan daratan utama Sulawesi Tenggara, populasi anoanya kian menyusut mendekati kepunahan. Hasil penelitian penulis dalam kurung delapan tahun terakhir sejak tahun 1994 bahwa anoa akan mengalami kepunahan lokal di Tanjung Amolengo, padahal kawasan konservasi ini dikenal sebagai salah satu habitat utama satwa langka ini di SulawesiTenggara, bahkan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) menjadi maskot fauna propinsi ini.

Tahun 1994 s/d 1995, penulis melakukan riset selama 8 bulan secara berkelanjutan mengenai populasi dan perilaku anoa di Tj Amolengo dan waktu itu hanya mencatat 8-12 ekor anoa di hutan ini dengan menggunakan berbagai metode yang sering dipakai dalam survey populasi satwaliar yaitu Metode Transect (pertemuan langsung dan penghitungan kepadatan feses anoa/Distance Sampling), Metode Konsentrasi /Silent Detection, dan Metode Jejak (foot-print analysis).

Tahun 2000 s/d 2003, penulis kembali melakukan penelitian di dua lokasi yaitu SM Amolengo (604 ha) dan SM Peropa (38 927 ha) dan mencatat populasi anoa yang lebih rendah lagi di Amolengo, hanya sekitar 5-6 ekor. Sedangkan di Tanjung Peropa, populasi anoa masih cukup baik, kepadatannya 0.9 ekor/km2, dengan perkiraan jumlah individu sebanyak 350 ekor.

Kedua suaka margasatwa tersebut hanya berjarak sekitar 2-3 km, dipisahkan oleh desa Amolengo, Langgapulu dan Ampera. Sekitar sepuluh tahun lalu, populasi anoa dari kedua suaka margasatwa itu masih bisa saling bertukar melalui koridor berupa hutan pinggiran sungai, riverine forest, perkebunan jambu mete, coklat dan kelapa, khususnya di bagian selatan Tanjung Peropa. Namun dengan bertambahnya penduduk dan pemukiman di ketiga desa tersebut, anoa semakin sulit menemukan koridor pelintasan yang memungkinkan pertukaran populasi anoa di kedua suaka margasatwa ini. Anoa di SM Tanjung Amolengo akan mengalami kepunahan lokal atau setidaknya mengalami penurunan kualitas genetik karena populasinya sangat kecil sehingga akan terjadi inbreeding.

Penduduk yang berdomisili di sekitar hutan seringkali over-estimasi terhadap populasi anoa, mereka mengatakan populasi satwa ini di alam masih berlimpah, padahal apabila dicermati dan dilakukan penelitian yang seksama, populasi anoa di alam sebenarnya sangat sedikit. Mereka yang mengatakan anoa masih banyak karena hanya berdasarkan jejak atau kotoran satwa ini di hutan. Perlu diketahui bahwa anoa termasuk satwa soliter, umumnya hanya ditemukan satu ekor, kadang dua ekor dan jarang dijumpai tiga ekor dalam satu kelompok. Lagipula anoa memiliki mobilitas yang tinggi dan wilayah jelajah harian yang luas (lebih 500 ha di Amolengo), sehingga jejak dan kotoran anoa yang kelihatannya melimpah, itu sebenarnya hanya milik beberapa ekor anoa.

Pengalaman penulis di Sulawesi Tenggara menunjukukkan seringkali cerita atau informasi keberadaan anoa dilebih-lebihkan. Sebelum memulai penelitian, penulis menggali informasi dari penduduk sekitar hutan termasuk beberapa pawang anoa. Seorang pawang anoa di Amolengo pada tahun 1994 mengatakan kepada penulis bahwa sedikitnya 200 ekor anoa terdapat di SM Tj Amolengo, namun setelah penulis melakukan penelitian yang cukup lama dan seksama secara berkelanjutan dan dengan menggunakan berbagai metode seperti tersebut di atas, menemukan bahwa anoa di Amolengo tidak lebih sepuluh ekor.

Overestimasi populasi anoa juga sering dilontarkan oleh pejabat berwenang dari instansi kehutanan dan Pemda yang mengatakan masih banyak anoa di daerahnya, sedangkan mereka sendiri belum pernah menjumpai satwa tersebut di habitat alamnya. Data populasi anoa mereka dapatkan dari cerita penduduk dan atas perkiraan saja, bukan data dari suatu penelitian yang dapat dijadikan pegangan. Sebagai gambaran bagaimana langkanya anoa di Sulawesi, Lee (2000) mensurvei transek sepanjang lebih 400 km di Gn Ambang, Sulut dan mencatat hanya satu ekor anoa sedangkan Alvard (2000) menelusuri sekitar 1300 km transek di Hutan Morowali, Sulteng, dan tidak menjumpai satu ekorpun anoa. Sedangkan penulis sendiri dengan panjang keseluruhan jalur 360 km di SM Tj Peropa mencatat sebanyak 20 kali pertemuan dengan anoa pada tahun 2001.

Penyebab utama menurunnya populasi anoa di Sulawesi Tenggara adalah deforestasi dan perburuan liar. Deforestasi terutama terjadi karena konversi hutan primer yang merupakan habitat anoa menjadi lahan perkebunan jambu mete, cacao, serta illegal logging baik di hutan produksi maupun di hutan konservasi sepeti suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, juga hutan lindung. Anoa juga sering diburu untuk dimakan dagingnya dan tanduknya dijadikan trophy. Selain anoa, satwa khas Sulawesi lainnya yang terdapat di Tj Amolengo dan Tj Peropa yaitu Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis), Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis), Rangkong (Rhyticeros cassidix dan Phenelopides exarhatus).





3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Penelitian yang sangat bermanfaat Pak.

    BalasHapus
  3. alhamdulillah, akhirnya pak Haris berkenan meluangkan waktu untuk sharing ttg anoa di website..

    BalasHapus