Jumat, 21 Mei 2010

Habitat, Populasi dan Perilaku Tarsius (Tarsius tarsier) Di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Abdul Haris Mustari dan Iwan Kurniawan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

                                                                                                                                                
Catatan penulis berikut ini dilakukan pada waktu melakukan ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (Surili) di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul) bersama dengan mahasiswa Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM), Himakova KSH Fahutan IPB pada bulan Agustus 2007. Tulisan singkat ini merupakan sebagian dari hasil ekspedisi tersebut.
    
Tarsius tarsier, TN Babul (Foto A.H.Mustari 2007)
Terdapat enam spesies tarsius di Sulawesi, salah satu diantaranya yaitu Tarsius tarsier di TN Babul.  Dengan adanya populasi tarsius di taman nasional yang penunjukan dan penetapannya relatif baru ini menambah arti pentingnya TN Babul sebagai kawasan konservasi karena selain sebagai taman nasional dengan ekosistem karst terluas di Indonesia, juga sebagai gudang biodiversity satwa endemik Wallacea. Dalam bahasa daerah Makassar, tarsius dikenal dengan nama Balau’ Cangke’ (balau=tikus  cangke=duduk) artinya sejenis tikus yang dapat duduk. Oleh penduduk lokal di  sekitar TN Babul, sepintas tarsius menyerupai tikus dan dapat duduk, sambil berpegangan pada batang dan ranting pohon. Tarsius adalah primata yang paling kecil bobot badannya, hanya sekitar 100 g bahkan beberapa jenis tarsius di Sulawesi bobot badannya dibawah 100 g. Ketika melihat tarsius, kesan pertama yang muncul bahwa satwa ini lucu dan menarik. Pupil matanya yang sangat besar dibandingkan dengan ukuran tubuhnya,  meyakinkan bahwa satwa ini aktif malam hari atau nokturnal. Tambahan lagi, tarsius dapat memutar kepala dan lehernya 180 derajat tanpa menggerakkan badannya.


Habitat
Tidak semua kawasan TN Babul terdapat populasi tarsius. Kawasan hutan Pattunuang (dahulunya merupakan Taman Wisata Alam sebelum diintegrasikan menjadi taman nasional) di sepanjang hutan riparian Bisseang Labboro (Bislab) dan Gua Pattunuang, mulai dari HM 1000 sampai HM 2500 termasuk lokasi yang bagus untuk pengamatan tarsius. Karakteristik habitat berupa tebing karst dimana terdapat berbagai jenis tumbuhan karst. Masih termasuk di kawasan Pattunuang ke arah hulu sungai, habitat tarsius yang baik juga terdapat di kawasan hutan yang berbatasan dengan kampung Pute dan Pappang. Kedua lokasi ini merupakan kampung yang paling dekat dengan TN Babul. Tarsius juga dijumpai di kawasan hutan air terjun Bantimurung.
Jenis tumbuhan yang dominan di kawasan hutan Bislap dan Gua Pattunuang diantaranya aren (Arenga pinnata), kenanga (Canangium odoratum), Spathodea campanulata, sukun hutan (Arthocarpus sp.), jabon (Antocephalus cadamba), ewu (Planchonia valida), dan berbagai jenis beringin (Ficus spp.). Sedangkan di blok hutan Pute dan Pappang, habitat tarsius didominasi oleh bambu (Bambusa spp.), terdiri dari beberapa jenis bambu diantaranya bambu duri, bambu biasa, bulo karisa dan tellang. Rumpun bambu digunakan tarsius sebagai tempat tidur dan tempat berlindung (cover), dimana tarsius membangun sarang di bagian bawah rumpun bambu yang cukup rapat dan terlindung dari kemungkinan serangan predator, misalnya ular. Pada saat tidur, tarsius menempati bagian bawah rumpun bambu. Satwa ini keluar dari tempat tidurnya pada pukul 6 sore hari, kemudian mereka mencari makan dan kembali ke tempat tidur/sarang sekitar pukul 5 dinihari. Tempat tidur tarsius dapat diketahui dengan mudah karena ketika keluar dari sarang, tarisus mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari makan (foraging), memebritahu keberadaan dari pasangan masing-masing. Selain itu, keberadaan tarsius di suatu pohon atau rumpun bambu dapat diketahui dari bau urinenya yang sangat khas.

Populasi
Dalam survei yang dilakukan pada jalur sepanjang 1,5 km (dilakukan sebanyak 10 kali ulangan sehingga total panjang jalur akumulatif 15 km) mulai dari jembatan dekat Bislap ke Gua Pattunuang (HM 1000-HM 2500), mengikuti aliran sungai ke arah hulu, tercatat sedikitnya 6 kelompok, atau minimal 12 ekor tarsius (2 ekor/kelompok). Sehingga laju perjumpaan (encounter rate) adalah 4 kelompok/km atau 6 kel/1,5 km. Berdasarkan angka ini, seseorang yang berjalan di jalur Pattunuang, dari Bislap ke Gua Pattunuang, akan menemukan 4 kelompok tarsius apabila berjalan sejauh 1 km. 

Sedangkan di blok hutan Pute dan Pappang digunakan metode kuadrat/plot ukuran 50mx50m (2500 m2) untuk menghitung populasi tarsius. Jumlah kuadrat masing-masing tiga kuadrat di Pute dan 1 kuadrat di Pappang, sehingga luas total kuadrat/plot contoh 4x2500m2 (1 ha). Dalam luasan 1 ha tersebut tercatat 3 kelompok tarsius di Pute dan 1 kelompok tarsius di Pappang. Kepadatan kelompok adalah 4 kelompok/ha. Kelompok-kelompok tarsius ditemukan di beberapa rumpun bambu di dalam kuadrat/plot. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam satu rumpun terdapat 2-8 ekor tarsius yang masih merupakan satu keluarga. Dalam satu plot terdapat rata-rata 18,8 rumpun bambu dari semua jenis, tetapi jenis bambu yang dominan adalah bambu duri.

Perilaku
Seseorang yang masuk ke hutan, lebih sering mendengar suara tarsius daripada melihat satwanya itu sendiri, karena itu hanya beberapa orang yang betul-betul kenal tarsius, apalagi suara satwa ini sepintas seperti suara serangga (nada crit-crit-crit……., berulangkali) atau suara kelelawar kecil yang terbang malam hari. Tarsius aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), makanan utamanya adalah berbagai jenis serangga yang aktif pada malam hari. Selain serangga, tarsius juga makan berbagai jenis reptilia kecil serta burung berukuran kecil dinataranya burung kacamata (Zosterops sp.).

Dalam mencari makan, tarsius mengintai mangsanya, sambil mengendap perlahan, kemudian secara tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat menyergap mangsanya dengan cara kedua tangan memegang mangsa, dan kedua kaki membantu kedua tangan menekan mangsa, sampai mangsa bisa dikuasai sepenuhnya. Seperti halnya jenis primata lainnya, tarsius dapat menggenggam sempurna mangsanya dengan kedua tangannya secara sempurna karena satwa ini memiliki lima jari tangan dan lima jari kaki. Pada jari kaki tengah, terdapat kuku yang menonjol, seperti gigi agak melengkung yang memudahkan tarsius dalam mencengkram mangsanya. Karena makanan tarsius adalah berbagai jenis serangga, satwa ini tidak dianggap hama oleh petani dan pemilik kebun di sekitar hutan. 

Tarsius hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil dimana dalam satu kelompok hanya terdapat satu ekor jantan dan betina dewasa. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari dua individu, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut terdiri dari jantan dan betina dewasa serta anak yang sudah beranjak dewasa dan anak yang masih kecil yang masih disapih oleh induknya. Setiap kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, dimana teritori dapat ditandai dengan air seni dan kotorannya serta bau badannya. Teritori dijaga secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang lain, dimana pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai TN Bantimurung-Bulusaraung dan seluruh staf atas bantuannya selama di lapangan. Secara khusus penulis berterima kasih kepada Pak Pado, pemandu di lapangan yang memungkinkan penelitian berjalan lancar.

PERILAKU ANOA (Bovidae: Bubalus spp.)

Abdul Haris Mustari
Department of Forest Resources Conservation, Faculty of Forestry, 
Bogor Agricultural University, Indonesia 
(haris.anoa@yahoo.com)

Pengamatan perilaku anoa baik di alam maupun di kebun binatang dilakukan oleh penulis (AHM) sejak tahun 1994 sampai sekarang. Berikut beberapa perilaku penting anoa.

Pola Aktivitas harian
Anoa menunjukkan pola aktif bi-phasic, dua fase, baik siang maupun malam hari. Pada siang hari, anoa aktif pada pagi hari sekitar pukul 6-9. Pada siang hari pukul 11-15, anoa mengurangi aktivitasnya, berlindung atau istirahat. Satwa ini kembali aktif pada sore hari sekitar pukul 4-6. Pada malam hari anoa menunjukkan intensitas aktivitas yang tinggi pada awal malam dan akhir malam. Pola aktivitas anoa di kebun binatang sesuai dengan di alam, yaitu aktif pada siang dan malam hari (Mustari 1995, 2003).

Makan
Anoa menunjukkan preferensi yang tinggi pada jenis makanan berupa daun daripada buah dan umbi. Namun buah dan umbi juga dimakan tetapi terlebih dahulu makan dedaunan.
Jenis makanan yang biasa diberikan kepada anoa di KB Ragunan yaitu kangkung, kacang panjang, pisang, jambu biji, pepaya, jagung dan ubi jalar. Ketika semua jenis makanan itu diberikan bersamaan, maka kangkung dan kacang panjang dimakan terlebih dahulu, kemudian buah dan umbi (Mustari 1995).

Mandi/berendam
Anoa menyukai tempat berkubang baik untuk mandi maupun sekedar berendam terutama pada saat terik matahari. Di KB Ragunan, anoa diamati berendam sekitar 15 menit, tetapi dalam kesempatan lain, dapat berendam selama 1 jam.
Dalam bak berendam sekitar 40-50 cm. Pada saat berendam air disiramkan ke bagian tubuh yang tidak terkena air menggunakan kepala yang dikibaskan ke arah samping berulangkali sehingga air mengenai tubuhnya. 

Berlindung
Di alam, anoa memiliki tempat berlindung atau berteduh saat matahari terik atau ketika hujan lebat. Di KB Ragunan, anoa banyak menghabiskan waktunya di kandang beratap ketika hujan lebat atau angin kencang disertai petir.

Agonistik
Pada dasarnya anoa adalah satwa pemalu, selalu menghindar dari pertemuan dengan manusia. Namun dalam kondisi tertentu, anoa dapat berperilaku agresif, terutama ketika induk punya anak, musim birahi atau anoa yang terluka. Anoa jantan dan betina yang sudah menempati kandang yang sama cukup lama masih memperlihatkan perilaku agresif satu dengan lainnya. Anoa jantan dan betina saling menanduk.

Posisi Tidur
Pada saat tidur anoa berbaring, kaki depan dan belakang ditekuk, kepala merunduk, kadang bagian mulut menyentuh tanah, leher dilekukkan ke samping kanan, mata tertutup.

Menggosok tanduk
Anoa seringkali dijumpai menggosok tanduk di pohon atau di tanah atau di pagar.

Menjilat dan menggaruk tubuh
Anoa menjilat tubuhnya sendiri dan tubuh pasangannya. Anoa jantan menjilati bagian genital anoa betina, dan sebaliknya anoa betina menjilati genitalia anoa jantan. Perilaku ini juga sering diamati pada saat anoa betina membuang air seni, bahkan air seni yang jatuh ke tanah atau lantai kandang juga dicium oleh anoa jantan. Perilaku saling menjilat tubuh pasangan juga diamati pada saat berbaring istirahat.
Menggaruk bagian kepala dilakukan menggunakan kuku kaki belakang, baik kiri maupun kanan. Selain kuku, ujung tanduk juga digunakan untuk menggaruk bagian tubuh, yang mungkin terasa gatal.

Perilaku lain
Anoa selalu mengibaskan ekornya ke kiri dan ke kanan untuk mengusir serangga dari tubuhnya, dilakukan baik pada waktu makan atau berdiri istirahat.
Perilaku lain yaitu anoa sering menjulurkan lidah ke arah hidung berulang kali. Seperti halnya hewan ungulata umumnya, bagian depan hidung senantiasa basah oleh kelenjar yang dikeluarkannya sendiri.


References

Mustari, AH. 1995. Population and behaviour of lowland (Bubalus depressicornis) in Tanjung Amolengo Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi, Indonesia. MSc. Thesis, University of Gottingen, Germany.

Mustari, AH. 2003. Ecology and conservation of lowland anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi, Indonesia. PhD Thesis, University of New England, Australia.

Anoa (Bubalus spp.) Food Plants in Tanjung Peropa Wildlife Reserve, Southeast Sulawesi

Abdul Haris Mustari

Department of Forest Resources Conservation, Faculty of Forestry,
Bogor Agricultural University, Indonesia
(haris.anoa@yahoo.com)


SUMMARY

A total of 46 species of anoa food plants (leaves and shoots) and two species of fruits that were known to be eaten by the animals in their natural habitat were analyzed using Proximate analysis. Browsing signs of the animals on these plants were observed in the forests, indicating that these food plants were potentially eaten by the animals in the natural habitats. Some of the analysed food plants, such as Merremia peltata, Physalis minima, and bamboos (Schizostachyum lima and cf Schizostachyum brachycladum), were also identified microscopically as the predominant food plants in the diets of the animals.

Percentages of the nutrients in the food plants varied considerably. Percent of crude protein was 5.58 -21.60 (mean 12.70; SD 4.34), while percent of crude fibre varied from 14.68 to 62.68 (mean 36.93; SD 12.07). Percentage of ether extract in the food plants was 0.91-11.5 (mean 2.38; SD 1.75). Percent of nitrogen-free extractives ranges between 0.76 and 52.31 (mean 24.64; SD 15.20), while gross energy of the food plants was 2419-3583 cal/g (mean 3093; SD 282.82). The majority (65%) of the food plants have a percentage of crude protein above 10%.

Merremia peltata, Physalis minima, and bamboos (Schizostachyum lima and cf Schizostachyum brachycladum), which were among the predominant food plants of anoa in Kalobo-Tanjung Peropa WR, did not differ significantly in percentages of their nutritional contents, except that Physalis minima contained a comparatively high proportion of crude protein (20.04%). Merremia which composed about one-third of the proportion of the diets of the animals, has only 11.66% of crude protein and the bamboos Schizostachyum lima and cf Schizostachyum brachycladum had even lower crude protein contents, 10.44% and 6.06% respectively. These bamboos have a high content of crude fibre, 37.54% and 43.07% respectively.

Other inferred food plants that have relatively high percentages of crude protein included Trema orientalis (21.60%), Acalypha boehmerioides (19.82%), and cf Micromelon minutum (19.38%), yet they were not found in the analyzed faecal samples of the animals. Sonneratia alba, a mangrove species, was frequently browsed by lowland anoa in Amolengo and showed the highest percentage of nitrogen-free extractives (52.31%) among the food plants, yet its crude protein content (10.45%) did not significantly differ from those of other food-plant species.

Crude protein and crude fibre contents of the fruits of Diospyros pilosanthera and Eugenia sp. are lower than those of their leaves and shoots, yet higher nitrogen-free-extractives and gross energy suggest that these fruits have higher digestibility and the animals could get instant energy by consuming the fruits.