Rabu, 23 Desember 2009

KONSUMSI HIJAUAN DAN KEBUTUHAN NUTRISI ANOA (Bubalus spp.) DI KEBUN BINATANG RAGUNAN, JAKARTA

Food intake and nutritional  requirement of lowland anoa (Bubalus spp.) in Ragunan Zoo, Jakarta

Oleh

Abdul Haris Mustari dan Burhanudin Mas’ud

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
(kontak person: haris.anoa@yahoo.com)

SUMMARY

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahi kebutuhan pakan anoa di KB Ragunan. Penelitian dilakukan dakam periode Agustus 1996 sampai Februari 1997, terhadap tiga individu anoa, masing-masing bernama BUTON (jantan dewasa 56 kg, asal Pulau Buton, tiba di KB Tagunan tahun 1972), MARLENI (betina dewasa 110 kg, berasal dari KB Lampung merupakan pertukaran satwa antar kebun bintang pada 14 April 1994), dan BONE (betina muda umur 2 tahun 45 kg). BONE lahir di KB Ragunan pada tanggal 25 Juni 1995, anak dari pasangan BUTON dan MARLENI. Pengamatan secara teratur yang dilakukan oleh penulis (AHM) menunjukkan, pada bulan Nopember 2009, BONE masih hidup dengan kondisi kesehatan yang cukup baik, sedangkan kedua induknya, BUTON dan MARLENI, sudah mati (komunikasi pribadi dengan pihak KB Ragunan).

Berdasarkan jumlah kromosom yang dimiliki, ketiga individu anoa tersebut menunjukkan anoa gunung, Bubalus quarlesi, dimana BUTON memiliki kromosom 2n=46, MARLENI memiliki kromosom 2n=38, dan BONE memiliki jumlah kromosom 2n=42 (Pranadewi 1998). Secara morfologi MARLENI menunjukkan ciri anoa dataran rendah, Bubalus depressicornis, yaitu rambut warna hitam, dan pada pangkal tanduk terdapat cincin atau wrinkle (Mustari dan Mas’ud 1997), tetapi penelitian genetik yang dilakukan oleh Pranadewi (1998) justru menunjukkan jumlah kromosom yang tidak biasa, bahkan untuk anoa gunung sekalipun, yaitu 2n=38.

BONE pada umur 12 tahun (Foto:A.Haris Mustari 2007)

Dua jenis hijauan pakan diberikan kepada ketiga anoa tersebut selama dilakukan penelitian yaitu (1) rumput gajah Pennisetum purpureum dan (2) hijauan campuran terdiri dari rumput gajah Pennisetum purpureum, rumput papaitan Cyrtococcum patens, akar-akaran Mikania cordata dan pacingan Costus speciosus, dengan komposisi jenis masing-masing sebanyak 25%. Pertimbangan memilih keempat jenis hijauan tersebut karena keempatnya disukai anoa dan sudah biasa diberikan oleh pengelola (keeper) kepada anoa. Selain itu, jenis-jenis hijauan pakan tersebut tumbuh melimpah di KB Ragunan dan sekitarnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi hijauan anoa per hari untuk hijauan tunggal (rumput gajah) berkisar 4,69-7,03 kg (rata-rata 5,98 kg). Sedangkan untuk hijauan campuran relative lebih tinggi yaitu 6,74-10,33 kg (rata-rata 8,12 kg). Persentase rataan jumlah konsumsi makanan terhadap berat badan anoa tersebut berkisar 8,34-11,54%.

POPULATION DENSITY, DISTRIBUTION AND SOCIALITY OF LOWLAND ANOA AND SYMPATRIC UNGULATES

Abdul Haris Mustari (1), Peter Jarman (2)

  1. Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia (haris.anoa@yahoo.com)
  2. Division of Ecosystem Management, University of New England, Armidale, NSW, Australia
SUMMARY

Population density of lowland anoas was estimated using direct and indirect observations. Of the direct observations, 20 and 10 sightings of anoas were made during the 372 and 124.3 km of transects walked in Tanjung Peropa and Tanjung Amolengo reserves, respectively. Sightings were made in all forest types. For indirect observations, densities of the dung of the animals and their calculated defecation rates were used to determine habitat occupancy in each of the habitat types occupied by lowland anoas, which were shown to include riverine, bamboo, lowland and rocky-lowland forest, and forests at higher altitude up to 900 m asl in Tanjung Peropa and mangrove, beach and lowland forests in Tanjung Amolengo, indicating that lowland anoas occupy a wide range of habitats (indeed, they occur in all the natural forested habitats studied). They could be found in the mangrove forest during low tides and they could also be observed in the mountainous forests at the peak of the reserve. This study revealed that habitat occupancies of the anoas were slightly higher in the riverine, bamboo and lowland forests than in the rocky-lowland forest in Tanjung Peropa whereas the animals spent more time in the beach forest than the lowland forest in Tanjung Amolengo. The lowland anoas significantly avoid forests near to settlement and roads. Anoas are water-dependent animals; they need water every day for drinking and they frequently visited water holes and wallowing sites. Distribution of anoa is significantly associated with water sources during the dry season.

Anoas adopt solitary behaviour (average 1.2 animals/group or per sightings; n = 38 detections, S.D. 0.41); they were mostly found singly or in pairs and were very rare as three animals in a group. Young anoas accompany their mother until the next calf is born, and in some cases longer.

Rabu, 09 Desember 2009

Mengenal Anoa, Sapi Cebol dari Sulawesi

Abdul Haris Mustari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor (haris.anoa@yahoo.com)

Beberapa nama lokal anoa

Anoa, sejenis sapi kerdil yang hidup di hutan tropis Sulawesi. Mustari (1995, 2003) menyatakan bahwa penduduk di Sulawesi menyebut anoa dengan nama yang berbeda-beda sesuai dengan etnis yang ada. Di Minahasa dan sekitarnya anoa disebut Buulu Tutu, Bandogo Tutu dan di Gorontalo disebut Sapi Utan, Dangko atau Langkau. Di bagian tengah Sulawesi Suku Kaili menyebutnya Nuua dan di Dampelas disebut Baulu. Etnis Kulawi di dataran tinggi Sulawesi Tengah menamainya Lupu, dan di Buol Toli-Toli anoa dinamai Bukuya. Di bagian tenggara Sulawesi, dalam bahasa daerah Tolaki, anoa dikenal dengan nama Kadue. Bahkan suku Tolaki dalam bahasa daerahnya dapat membedakan dua jenis anoa yaitu Kadue meeto (meeto artinya hitam)untuk anoa yang warnanya hitam atau anoa dataran rendah dan Kadue wosula (wosu berarti gunung) untuk anoa yang warnanya coklat kemerahan atau anoa gunung (Mustari 2003) Di daerah Malili termasuk sekitar Danau Matano penduduk menyebut anoa dengan nama Anuang. Dalam bahasa Indonesia, satwa ini dikenal dengan nama anoa, namun ada juga yang menyebutnya sapi hutan atau sapi cebol (Mustari 2003).


Gambar 1. Anoa dataran rendah, jantan dewasa di KB Ragunan (Foto: A.Haris Mustari, tahun 1997)

 Gambar 2. Anoa gunung, betina muda, berasal dari hutan di sekitar Danau Towuti-Luwu Timur, Sulawesi     Selatan (Foto: A.Haris Mustari, tahun 2007).
Berapa spesies anoa?

Meskipun disebut sapi cebol, secara sistematika, anoa dimasukkan dalam marga kerbau, Bubalus, anak marga Anoa, bukan dalam marga sapi, Bos. Bahkan ada ahli yang mengklasifikasikan anoa dalam marga tersendiri yaitu Anoa. Sistem klasifikasi yang lebih banyak dijadikan rujukan saat ini adalah yang ditulis oleh Groves (1969) dimana anoa terdiri dari dua spesies anoa yaitu anoa dataran rendah Bubalus (Anoa) depressicornis dan anoa gunung Bubalus (Anoa) quarlesi. Anoa termasuk marga kerbau Bubalus, sedangkan Anoa dianggap sebagai anak marga.