Selasa, 29 Maret 2011

Beberapa Spesies Kunci untuk Konservasi di Sulawesi

Oleh

Abdul Haris Mustari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB (haris.anoa@yahoo.com)


Terletak diantara pengaruh Zoogeografi Oriental di bagian barat (Sundaic) dan Zoogeografi Australia di sebelah timur (Papuan) Indonesia, kawasan Wallacea memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi termasuk berbagai jenis flora dan fauna endemik. Bio-region Wallacea pertama kali dicetuskan dan kemudian dipopulerkan oleh seorang pengelana alam naturalist Inggris, Alfred Russel Wallace, pada tahun 1856 yang berdasarkan pengamatannya bahwa kawasan ini memiliki jenis satwa dan tumbuhan yang berbeda dengan yang ada di bagian barat dan timur nusantara. Jenis satwa dan tumbuhan yang ada merupakan perpaduan wilayah barat dan timur, namun jenis yang dijumpai berbeda dengan jenis-jenis di wilayah penyebaran leluhurnya karena berbagai jenis satwa dan tumbuhan tersebut telah mengalami isolasi genetik dalam waktu evolusi yang sangat lama sehingga muncul spesies-spesies baru (spesiasi).
Sulawesi merupakan pulau terbesar di bio-region Wallacea, memiliki peran yang sangat penting dalam hal pelestarian keanekaragaman hayati khususnya berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dan endemik. Beberapa satwa endemik Sulawesi diantaranya anoa dataran rendah Bubalus depressicornis, anoa gunung B. quarlesi, babirusa Babyrousa babyrussa, dan babi hutan Sulawesi Sus celebensis. Anoa dan babirusa telah menjadi maskot fauna dan flagship species konservasi di Sulawesi, bahkan kedua spesies tersebut hampir identik dengan pulau itu karena dengan menyebut kedua jenis satwa tersebut, ingatan akan tertuju ke pulau yang terletak di bagian timur Indonesia itu. Anoa dan babirusa tercatat dalam Appendix I CITES dan telah dilindungi undang-undang sejak 1931. Kedua spesies anoa tersebut dikategorikan endangered dan babirusa dikategorikan vulnerable oleh IUCN Red List. Babi hutan Sulawesi, meskipun statusnya belum dilindungi, namun penyebarannya terbatas di Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, sehingga harus dijaga kelestariannya agar tetap menjadi agen penting penyebaran berbagai jenis biji tumbuhan hutan yang menjamin terjadinya regenerasi hutan yang sehat di Sulawesi.
Selain jenis satwa berkuku, ungulata seperti tersebut di atas, Sulawesi merupakan habitat alam kuskus beruang Ailurops ursinus, kuskus Sulawesi Strigocuscus celebensis, dan musang Sulawesi Macrogalidia musschenbroekii. Pulau ini juga dihuni oleh sedikitnya delapan jenis monyet yaitu monyet dare Macaca maura, monyet boti M. tonkeana, monyet dige M. hecki, monyet dihe M. nigrescens, monyet yaki M. nigra, monyet butung M. ochreata, monyet buton M. brunnescens, dan monyet fonti M. togeanus.
Selain mamalia, terdapat jenis burung dari suku Megapodidae yaitu maleo, Macrocephalon maleo, memiliki ukuran telur hampir lima kali lebih besar dari ukuran telur ayam kampung. Sulawesi juga merupakan habitat berbagai jenis burung langka paruh bengkok yaitu kakatua jambul kuning Cacatua sulphurea. Hutan hujan tropis Sulawesi juga menjadi habitat penting bagi dua jenis burung dari suku Bucerotidae yaitu julang Sulawesi Aceros cassidix dan kangkareng Sulawesi Penelopides exarhatus. Untuk jenis burung pemangsa puncak (raptor) terdapat elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus yang memperkaya khasanah keanekaragaman hayati pulau tersebut.
Selain kaya berbagai jenis satwa, Sulawesi juga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi diantaranya yang paling dikenal adalah kayu hitam Sulawesi atau eboni Diospyros celebica. Kayu eboni memiliki kelas kuat dan kelas awet satu, corak dan warna kayu terasnya yang khas, hitam kecoklatan bergaris, sangat disukai oleh konsumen baik untuk furniture maupun untuk ukiran, menjadikan eboni sebagai salah satu jenis kayu mewah fancy wood yang dimiliki Indonesia. Karena termasuk kayu mewah, eboni banyak dicari dan diperdagangkan sehingga memicu terjadinya penebangan liar yang menyebabkan kayu ini semakin langka di habitat alaminya.

1 komentar:

  1. assalamu alaykum pak...
    mau tanya nih, di TNRAW barusan ada kegiatan Invent spesies, salah satunya babirusa. tapi di lapangan kami tidak menemukan secara langsung, yag ada cuma jejaknya aja. beberapa dari kami mencoba identifikasi jejak yang di ambil (melalui foto dan cetak jejak/foot print)dengan menggunakan literatur yg ad (terbatas). yg sy mau tanyakan adalah bagai mana membedakan jejak babi hutan biasa dengan babi rusa..? makasih pak.

    BalasHapus