Jumat, 20 November 2009

CONSERVATION AND MANAGEMENT RECOMMENDATIONS FOR LOWLAND ANOA (Bubalus depressicornis) IN SULAWESI

Abdul Haris Mustari(1), Peter Jarman(2)

(1) Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, PO Box 168, Bogor 16001, E-mail: haris.anoa@yahoo.com (2) Division of Ecosystem Management, University of New England, Armidale, NSW, Australia

ABSTRACT

Conservation issues related to anoas include illegal hunting, illegal logging and cutting of trees, rattan collecting and forest encroachment. Management recommendations should aim to conserve anoas in their natural habitats. This in-situ conservation will benefit not only the target species or genus but also all species of wildlife inhabiting the same rain forest. Gazetting areas of remaining suitable habitats of anoas is needed, particularly areas of lowland rain forests that have the highest pressure from people’s activities, such as converting the forests into settlements and plantations or others anthropogenic environments. Stricter law enforcement should be imposed and the Indonesian Environmental Act (Republik Indonesia 1990) should be applied in order to stop illegal hunting and illegal logging; the authorities should apply the law and punish people or groups convicted of breaking the law. Increasing awareness of the people is one of the keys for conserving the endemic species and their habitats. Anoa in Tanjung Amolengo were only seen more than 1 km from the settlement and roads indicating that the animals avoid forests near this settlement and any anthropogenic environment. Settlement on the boundary of a conserved area will reduce the capacity of that reserve to support anoas. Thus, settlements on the boundary of reserves should be avoided.

Rabu, 18 November 2009

Karakteristik Habitat Anoa

Abdul Haris Mustari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga, Bogor.Email:haris.anoa@yahoo.com

Anoa sangat peka akan gangguan manusia. Gangguan yang sedikit saja terhadap habitatnya menyebabkan satwa ini menghindar mencari tempat yang lebih aman. Karena itu anoa mendiami habitat yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, dan itu adalah hutan yang memiliki aksesibilitas rendah. Anoa cenderung menghindari kontak langsung dengan manusia dan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia seperti adanya ternak sapi atau kerbau. Kecuali pada beberapa kawasan hutan dimana anoa tidak punya pilihan untuk menghindar karena habitatnya terisolir, anoa dapat saja mendatangi areal perkebunan yang berbatasan dengan hutan atau kawasan konservasi.

Seiring pertambahan penduduk dan terbukanya akses oleh berbagai kegiatan seperti pemukiman, transmigrasi, perkebunan dan pertambangan, habitat anoa yang dahulunya sulit terjangkau, aksesnya semakin terbuka, akibatnya habitat satwa ini semakin berkurang dan terkotak-kotak yang pada akhirnya menyebabkan populasinya menurun. Banyak kawasan hutan yang dahulunya dikenal sebagai habitat anoa tidak lagi dijumpai satwa tersebut seperti yang terjadi di CA Tangkoko Batuangus di Bitung Sulawesi Utara, anoa punah secara lokal. Habitat anoa terfragmentasi, populasi kecil terisolir sehingga diantara individu tidak terjadi perkawinan dan pertukaran genetik yang pada gilirannya akan membawa masalah serius inbreeding, perkawinan antar kerabat dekat yang mana akan menyebabkan terjadinya erosi genetik seperti yang terjadi pada kawasan hutan yang relatif sempit misalnya SM Tanjung Amolengo dan CA Lamedai di Sulawesi Tenggara dan banyak kawasan hutan lainnya yang dihuni anoa telah terfragmentasi seperti ini.

Sebagai ungulata penghuni hutan sejati, anoa membutuhkan tempat mencari makan, minum, berlindung serta melakukan interaksi sosial berupa hutan primer yaitu hutan yang belum terjamah manusia; mulai dari hutan pantai, hutan rawa, hutan dataran rendah, dan hutan pegunungan. Semakin jauh kawasan hutan dari lingkungan manusia semakin disukai anoa sebagai habitat. Hal ini terkait dengan naluri dasar anoa sebagai satwa yang sangat peka yang telah beradaptasi selama jutaan tahun di hutan alam Sulawesi, jauh sebelum manusia pertama menginjakkan kaki di pulau ini. Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22-27 derajat celcius. Anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Demikian pula hutan bambu sangat disukai anoa. Sedangkan hutan dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam dimana banyak terdapat formasi gua bebatuan limestone juga dapat dijadikan anoa sebagai habitat, namun dengan tingkat okupansi yang lebih rendah.

Senin, 16 November 2009

POPULASI ANOA DI SM TANJUNG AMOLENGO, SULAWESI TENGGARA TIDAK LEBIH 10 EKOR

Dr.Ir Abdul Haris Mustari, M.Sc.F
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Kampus IPB Dramaga, Bogor (haris.anoa@yahoo.com)

Anoa, Satwa endemik Sulawesi populasinya makin terancam. Satwa ini tercatat dalam Apendix I CITES dan termasuk “Endangered Species” IUCN Red Data Book. SM Tanjung Amolengo terletak di ujung selatan daratan utama Sulawesi Tenggara, populasi anoanya kian menyusut mendekati kepunahan. Hasil penelitian penulis dalam kurung delapan tahun terakhir sejak tahun 1994 bahwa anoa akan mengalami kepunahan lokal di Tanjung Amolengo, padahal kawasan konservasi ini dikenal sebagai salah satu habitat utama satwa langka ini di SulawesiTenggara, bahkan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) menjadi maskot fauna propinsi ini.

Tahun 1994 s/d 1995, penulis melakukan riset selama 8 bulan secara berkelanjutan mengenai populasi dan perilaku anoa di Tj Amolengo dan waktu itu hanya mencatat 8-12 ekor anoa di hutan ini dengan menggunakan berbagai metode yang sering dipakai dalam survey populasi satwaliar yaitu Metode Transect (pertemuan langsung dan penghitungan kepadatan feses anoa/Distance Sampling), Metode Konsentrasi /Silent Detection, dan Metode Jejak (foot-print analysis).

Tahun 2000 s/d 2003, penulis kembali melakukan penelitian di dua lokasi yaitu SM Amolengo (604 ha) dan SM Peropa (38 927 ha) dan mencatat populasi anoa yang lebih rendah lagi di Amolengo, hanya sekitar 5-6 ekor. Sedangkan di Tanjung Peropa, populasi anoa masih cukup baik, kepadatannya 0.9 ekor/km2, dengan perkiraan jumlah individu sebanyak 350 ekor.

Kedua suaka margasatwa tersebut hanya berjarak sekitar 2-3 km, dipisahkan oleh desa Amolengo, Langgapulu dan Ampera. Sekitar sepuluh tahun lalu, populasi anoa dari kedua suaka margasatwa itu masih bisa saling bertukar melalui koridor berupa hutan pinggiran sungai, riverine forest, perkebunan jambu mete, coklat dan kelapa, khususnya di bagian selatan Tanjung Peropa. Namun dengan bertambahnya penduduk dan pemukiman di ketiga desa tersebut, anoa semakin sulit menemukan koridor pelintasan yang memungkinkan pertukaran populasi anoa di kedua suaka margasatwa ini. Anoa di SM Tanjung Amolengo akan mengalami kepunahan lokal atau setidaknya mengalami penurunan kualitas genetik karena populasinya sangat kecil sehingga akan terjadi inbreeding.

Penduduk yang berdomisili di sekitar hutan seringkali over-estimasi terhadap populasi anoa, mereka mengatakan populasi satwa ini di alam masih berlimpah, padahal apabila dicermati dan dilakukan penelitian yang seksama, populasi anoa di alam sebenarnya sangat sedikit. Mereka yang mengatakan anoa masih banyak karena hanya berdasarkan jejak atau kotoran satwa ini di hutan. Perlu diketahui bahwa anoa termasuk satwa soliter, umumnya hanya ditemukan satu ekor, kadang dua ekor dan jarang dijumpai tiga ekor dalam satu kelompok. Lagipula anoa memiliki mobilitas yang tinggi dan wilayah jelajah harian yang luas (lebih 500 ha di Amolengo), sehingga jejak dan kotoran anoa yang kelihatannya melimpah, itu sebenarnya hanya milik beberapa ekor anoa.

Pengalaman penulis di Sulawesi Tenggara menunjukukkan seringkali cerita atau informasi keberadaan anoa dilebih-lebihkan. Sebelum memulai penelitian, penulis menggali informasi dari penduduk sekitar hutan termasuk beberapa pawang anoa. Seorang pawang anoa di Amolengo pada tahun 1994 mengatakan kepada penulis bahwa sedikitnya 200 ekor anoa terdapat di SM Tj Amolengo, namun setelah penulis melakukan penelitian yang cukup lama dan seksama secara berkelanjutan dan dengan menggunakan berbagai metode seperti tersebut di atas, menemukan bahwa anoa di Amolengo tidak lebih sepuluh ekor.

Overestimasi populasi anoa juga sering dilontarkan oleh pejabat berwenang dari instansi kehutanan dan Pemda yang mengatakan masih banyak anoa di daerahnya, sedangkan mereka sendiri belum pernah menjumpai satwa tersebut di habitat alamnya. Data populasi anoa mereka dapatkan dari cerita penduduk dan atas perkiraan saja, bukan data dari suatu penelitian yang dapat dijadikan pegangan. Sebagai gambaran bagaimana langkanya anoa di Sulawesi, Lee (2000) mensurvei transek sepanjang lebih 400 km di Gn Ambang, Sulut dan mencatat hanya satu ekor anoa sedangkan Alvard (2000) menelusuri sekitar 1300 km transek di Hutan Morowali, Sulteng, dan tidak menjumpai satu ekorpun anoa. Sedangkan penulis sendiri dengan panjang keseluruhan jalur 360 km di SM Tj Peropa mencatat sebanyak 20 kali pertemuan dengan anoa pada tahun 2001.

Penyebab utama menurunnya populasi anoa di Sulawesi Tenggara adalah deforestasi dan perburuan liar. Deforestasi terutama terjadi karena konversi hutan primer yang merupakan habitat anoa menjadi lahan perkebunan jambu mete, cacao, serta illegal logging baik di hutan produksi maupun di hutan konservasi sepeti suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, juga hutan lindung. Anoa juga sering diburu untuk dimakan dagingnya dan tanduknya dijadikan trophy. Selain anoa, satwa khas Sulawesi lainnya yang terdapat di Tj Amolengo dan Tj Peropa yaitu Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis), Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis), Rangkong (Rhyticeros cassidix dan Phenelopides exarhatus).